Puntadewa (Yudistira)
Nama lain Puntadewa :
* Ajataśatru, "yang tidak memiliki
musuh".
* Bhārata, "keturunan Maharaja
Bharata".
* Dharmawangsa atau Dharmaputra,
"keturunan Dewa Dharma".
* Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
*
Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
*
Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
*
Pandawa, "putera Pandu".
*
Partha, "putera Prita atau Kunti".
Beberapa di
antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya,
misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi
pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk
Yudistira, misalnya:
*
Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
*
Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
*
Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
*
Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".
Raden Puntadewa
adalah putra sulung dari Prabu Pandudewanata dan Dewi Kuntinalibrata.
Sesungguhnya Puntadewa merupakan putra kedua dari Dewi Kuntinalibrata. Akibat
Ajian Adityaredhaya ajaran Resi Druwasa, Kunti sempat hamil, sesaat sebelum
terjadinya sayembara pilih. Lalu putranya yang di keluarkan dari telingga yang
dinamai Karna dibuang dan kemudian diasuh oleh seorang sais kereta bernama
Adirata.
Secara resmi
memang Puntadewa adalah putra Prabu Pandu dan Dewi Kunti namun sesungguhnya ia
adalah putra Dewi Kunti dan Batara Darma, dewa keadilan. Hal tersebut
diakibatkan oleh kutukan yang diucapkan oleh Resi Kimindama yang dibunuh Pandu
saat bercinta dalam wujud kijang. Tapi akibat dari ajian Adityaredhaya, Dewi
Kunti dan Prabu Pandu masih dapat memiliki keturunan untuk menghasilkan penerus
takhta kerajaan. Puntadewa
bersaudarakan empat orang, dua saudara seibu dan 2 saudara berlainan ibu.
Mereka adalah Bima atau Werkudara, Arjuna atau Janaka, Nakula atau Pinten, dan
Sadewa atau Tangsen.
Puntadewa memiliki dasanama
(nama-nama lain) yaitu Raden Dwijakangka sebagai nama samaran saat menjadi
buangan selama 13 tahung di kerajaan Wirata, Raden Darmaputra karena merupakan
putra dari Batara Darma, Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama,
Sang Ajatasatru, Kantakapura, Yudistira, dan Sami Aji, julukan dari Prabu
Kresna.
Raden Puntadewa memiliki watak sadu
(suci, ambeg brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta perdamaian, tidak
suka marah meskipun hargadirinya diinjak-injak dan disakiti hatinya. Oleh para
dalang ia digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam pewayangan bersama
Begawan Bagaspati, Antasena dan Resi Subali sebagai perlambang kesucian hati
dan dapat membunuh nafsu-nafsu buruknya.
Konon, Puntadewa dilahirkan melelui ubun-ubun Dewi Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu selalu ada dalam kesulitan. Mereka selalu bermusuhan dengan saudara sepupu mereka, Kurawa, yang didalangi oleh paman dari para Kurawa yang juga merupakan patih dari Kerajaan Astinapura, Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki hak atas kerajaan Astinapura, namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia pandawa masih sangat muda maka kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati Destarastra dengan disaksikan oleh tetua-tetua kerajaan seperti, Dang Hyang Dorna, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan perjanjian tertulis agar kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa setelah dewasa, dan Destarastra mendapatkan separuh dari wilayah Astina. Namun atas hasutan Patih Sengkuni maka kemudian Kurawalah yang menduduki takhta kerajaan. Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan pandawa, dimulai dengan Pandawa Timbang (lih. Bima), Bale Sigala-gala, Pandawa Dadu sampai pada perang besar Baratayuda Jayabinangun. Meskipun Puntadewa adalah manusia berbudi luhur namun ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka berjudi.
Konon, Puntadewa dilahirkan melelui ubun-ubun Dewi Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu selalu ada dalam kesulitan. Mereka selalu bermusuhan dengan saudara sepupu mereka, Kurawa, yang didalangi oleh paman dari para Kurawa yang juga merupakan patih dari Kerajaan Astinapura, Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki hak atas kerajaan Astinapura, namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia pandawa masih sangat muda maka kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati Destarastra dengan disaksikan oleh tetua-tetua kerajaan seperti, Dang Hyang Dorna, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan perjanjian tertulis agar kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa setelah dewasa, dan Destarastra mendapatkan separuh dari wilayah Astina. Namun atas hasutan Patih Sengkuni maka kemudian Kurawalah yang menduduki takhta kerajaan. Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan pandawa, dimulai dengan Pandawa Timbang (lih. Bima), Bale Sigala-gala, Pandawa Dadu sampai pada perang besar Baratayuda Jayabinangun. Meskipun Puntadewa adalah manusia berbudi luhur namun ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka berjudi.
Kelak kebiasaan
buruk dari Puntadewa ini menyebabkan para Pandawa berada dalam kesulitan besar.
Hal tersebut dikisahkan sebagai berikut: Saat terjadi konflik antara Pandawa
dan Kurawa tentang perebutan kekuasaan Kerajaan Astinapura, Kurawa yang
didalangi oleh Sengkuni menantang Pandawa untuk main judi dadu. Pada permainan
tersebut, para Pandawa mulanya hanya bertaruh uang, namun lama kelamaan,
Puntadewa mempertaruhkan kerajaan, istri, dan pada akhirnya pandawa sendiri
sudah menjadi hak milik kurawa (Sebelumnya Puntadewa bersama adik-adiknya
berhasil mendirikan kerajaan yang berasal dari Hutan Mertani, sebuah hutan
angker yang ditempati oleh raja jin yang bernama Prabu Yudistira dan
adik-adiknya).
Saat Pandawa beranjak dewasa, mereka selalu dimusuhi oleh para Kurawa, akibatnya para tetua Astinapura turun tangan dan memberi solusi dengan menghadiahi Pandawa sebuah hutan angker bernama Wanamarta untuk mengindari perang saudara memperebutkan takhta Astinapura. Setelah itu, hutan yang tadinya terkenal angker, berubah menjadi kerajaan yang megah, dan Prabu Yudistira serta putrinya, Dewi Ratri atau para dalang juga sering menyebutnya Dewi Kuntulwilanten menyatu di dalam tubuh Puntadewa yang berdarah putih. Sejak saat itu pulalah Puntadewa bernama Yudistira.
Saat Pandawa beranjak dewasa, mereka selalu dimusuhi oleh para Kurawa, akibatnya para tetua Astinapura turun tangan dan memberi solusi dengan menghadiahi Pandawa sebuah hutan angker bernama Wanamarta untuk mengindari perang saudara memperebutkan takhta Astinapura. Setelah itu, hutan yang tadinya terkenal angker, berubah menjadi kerajaan yang megah, dan Prabu Yudistira serta putrinya, Dewi Ratri atau para dalang juga sering menyebutnya Dewi Kuntulwilanten menyatu di dalam tubuh Puntadewa yang berdarah putih. Sejak saat itu pulalah Puntadewa bernama Yudistira.
Sebelumnya,
setelah Pandawa berhasil lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala, dimana mereka
dijebak disuatu purocana (semacam istana dari kayu) dengan alasan Kurawa akan
menyerahkan setengah dari Astina, namun ternyata hal tersebut hanyalah tipu
muslihat kurawa yang membuat para Pandawa mabuk dan tertidur, sehingga pada
malamnya mereka dapat leluasa membakar pesanggrahan Pandawa. Bima yang
menyadari hal itu dengan cepat membawa saudara-saudara dan ibunya lari menuju
terowngan yang diiringi oleh garangan putih sampai pada Kayangan Saptapertala,
tempat Sang Hyang Antaboga, dari sana Pandawa lalu melanjutkan perjalanan ke
Pancala, dimana sedang diadakan sayembara adu jago memperebutkan Dewi Drupadi.
Barang siapa berhasil mengalahkan Gandamana, akan berhak atas Dewi Drupadi, dan
yang berhasil dalam sayembara tersebut adalah Bima. Bima lalu menyerahkan Dewi
Drupadi untuk diperisri kakaknya. Sumber yang lain menyebutkan bahwa setelah
mengalahkan Gandamana Pandawa masih harus membunuh naga yang tinggal di bawah
pohon beringin. Kemudian Arjunalah yang dengan panahnya berhasil membunuh naga
tersebut. Dari Dewi Drupadi Puntadewa memilki seorang putra yang diberi nama Pancawala.
Dalam masa buangan tersebut ada sebuah kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden Puntadewa. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.
Dalam masa buangan tersebut ada sebuah kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden Puntadewa. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.
Akibat kalah bermain dadu, Pandawa
harus menerima hukuman menjadi buangan selama 13 tahun. Dan sebelumnya Drupadi
pun sempat dilecehkan oleh Dursasana yang berusaha menelanjanginya sampai
sampai terucaplah sumpah Dewi Drupadi yang tidak akan mengeramas rambutnya
sebelum dicuci oleh darah Dursasana, untunglah Batara Darma menolong Drupadi
sehingga ia tidak dapat ditelanjangi. Pada tahun terakhir sebagai buangan,
Pandawa menyamar sebagai rakyat biasa di suatu kerajaan bernama Wirata. Disana
Puntadewa lalu menjadi ahli politik dan bekerja sebagai penasehat tak resmi
raja yang bernama Lurah Dwijakangka.
Puntadewa memiliki jimat peninggalan
dari Prabu Pandu berupa Payung Kyai Tunggulnaga dan Tombak Kyai Karawelang,
Keris Kyai Kopek, dari Prabu Yudistira berupa Sumping prabangayun, dan
Sangsangan robyong yang berupa kalung. Jika puntadewa marah dan tangannya
menyentuh kalung ini maka seketika itu pulalah, ia dapat berubah menjadi
raksasa bernama Brahala atau Dewa Mambang sebesar gunung anakan dan yang dapat
meredakannya hanyalah titisan Batara Wisnu yang juga dapat merubah diri menjadi
Dewa Amral. Selain itu Puntadewa juga memiliki pusaka bernama Serat
Jamus Kalimasada.

Pada Perang
besar Baratayuda Jayabinangun, Puntadewa menjadi senapati perang pihak pandawa
menghadapi raja dari kerajaan Mandraka, Prabu Salya. Puntadewa pun akhirnya
behasil membunuh Salya meskipun sebenarnya ia maju kemedan perang dengan berat
hati. Saat perang Baratayuda terjadi pun, Puntadewa pernah melakukan tindakan
tercela yang mengakibatkan senapati perang Kurawa yang juga gurunya, Dang Hyang
Dorna terbunuh. Dikisahkan sebagai berikut, saat para pandawa berhasil membunuh
gajah Estitama, seekor gajah milik Astina. Drona yang samar-samar mendengar
“….tama mati!” menjadi bingung, mungkin saja Aswatama, putranya telah mati, dan
lari menuju pesanggrahan Pandawa, Drona tahu benar siapa yang harus ditanyai,
Puntadewa, seorang raja yang selama hidupnya tak pernah berbohong. Saat itu
Puntadewa atas anjuran Kresna menyebutkan bahwa Hesti (dengan nada lemah) dan
tama (dikeraskan) memang telah mati, Drona yang mendengar hal itu menjadi
tambah panik karena menurut pendengarannya yang telah kabur, putra tunggalnya
telah tewas. Drona pun kemudian tewas oleh Drestajumena yang memenggal lehernya
saat Drona dalam keaadaan ling-lung. Dalam hal ini dapat di petik sebuah
pelajaran bahwa dalam hidup ini sebuah kejujuran pun tidak dapat dilakukan
secara setengah-setengah, memang Puntadewa tidak pernah berbohong, namun sikap
setengah-setengah tersebut pulalah yang mangakibatkan kematian guru besar
Astina tersebut.
Setelah selesai Baratayuda, Puntadewa menjadi
raja di Astina sebentar dengan gelar Prabu Kalimataya. Lalu di gantikan oleh
cucu dari Arjuna yang bernama Parikesit dengan gelar Prabu Kresnadwipayana.
Setelah tua, Puntadewa lalu memimpin adik-adiknya untuk naik ke Puncak Himalaya
untuk mencapai nirwana. Disana satu persatu istri dan adik-adiknya meninggal,
lalu hanya ia dan anjingnya lah yang sampai di pintu nirwana, di sana Batara
Indra menolak membawa masuk anjing tersebut, namun puntadewa bersikeras
membawanya masuk. Lalu setelah perdebatan panjang anjing tersebut berubah
menjadi Batara Darma dan ikut ke nirwana bersama Puntadewa.
Seni Budaya Jawa (wayang) Salah Satu Media Pemersatu dan Hiburan
Rakyat
- Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah
adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
-
Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak
bangsa Indonesia.sumber: media seni budaya wayang Indonesia
nglaras gendhing lan musik liyane
Tidak ada komentar:
Posting Komentar