Kamis, 10 November 2016

Makna Tulisan Jawa Dalam Kehidupan Manusia

Filosofi Tulisan Jawa

HANACARAKA DATASAWALA PADHAJAYANYA MAGABATHANGA
Gambaran Perjalanan Hidup Manusia

Berbicara mengenai filosofi hidup manusia, sejak kelahirannya didunia (yang sekarang kita jalani) sampai nanti akhir hayatnya/meninggal dunia menghadap kembali kepada Yang Maha Pencipta/Allah SWT, pasti akan memiliki makna dalam kehidupannya, dari menjadi manusia yang berahlak baik atau sebaliknya, dari manusia yang (mampu) memiliki ilmu (bermanfaat) lebih kemudian ditularkan kepada orang lain (ilmu padi) atau sebaliknya, dari manusia yang memiliki rejeki lebih (kaya) namun tidak bersifat sombong bahkan dermawan atau sebaliknya dan seterusnya, dalam hal ini bagaimana cara sikap manusia selama menjalankan aktifitas kehidupannya, baik menjadi pemimpin dalam keluarga, dalam masyarakat, termasuk pada lingkungannya, serta tidak lupa senantiasa menjalankan kewajiban melaksanakan perintah-Nya melalui kepercayaan (agama) yang dianutnya, dan kesemuanya akan berakhir kemudian mempertanggung jawabkan hasil dari kehidupannya kepada Yang Maha Mengetahui/Maha Memiliki Segala-Nya/Allah SWT.

Dalam khasanah Jawa, perihal manusia dapat dikenal dari ajaran aksara jawa :
HANACARAKA DATASAWALA PADHAJAYANYA MAGABATHANGA

1.     HANACARAKA
Yang menjelaskan hakekat manusia,

a.     HA NA yang artinya : ono (ada)
        HA bermakna hidup
        NA bermakna nglegono, yang berarti ada kehidupan yang masih suci, berarti pula kehidupan yang masih suci bersih, ternoda oleh kesalahan dan dosa, atau fitrah, yang berarti sejak kelahirannya manusia dalam keadaan masih suci.

b.     CA RA KA yang artinya bekal manusia hidup di dunia,

CA bermakna cipto (cipta),

RA bermakna roso (rasa)

KA bermakna karso (kehendak) yang berarti dalam kehidupan manusia senantiasa sangat dipengaruhi oleh daya cipta, daya rasa dan daya karsa (kehendak-keinginan untuk mewujudkan kehidupan yang bermakna dan penuh kemuliaan).

2.     DATASAWALA
Yang artinya akal yang tidak cacat, gambaran manusia yang baru lahir.

3.     PADHAJAYANYA
Yang artinya sama saktinya, sama digdayanya, sama kekuatannya.

4.     MAGABATHANGA
MA bermakna sebagai sukmo (sukma/jiwa/roh)

GA bermakna sebagai rogo (raga/badan/tubuh)

BA THA bermakna sebagai bathang (jasad/badan sebagai manusia telah meninggal)

NGA bermakna sebagai lungo (pergi) yang berarti berpisahnya sang sukmo (sukma/roh) dari rogo (raga/tubuh) menjadi jasad yang ditamana di dalam tanah, dan sukma pergi meninggalkan sang raga/tubuh untuk menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa/Allah SWT guna mempertanggung jawabkan hasil aktifitas dan pekerjaannya selama masih berada di alam dunia. Sehingga arti secara keseluruhan dari makna tersebut adalah: Bahwa Manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi masih telanjang (fitrah/suci) kemudian manusia diberikan oleh Tuhan berupa daya cipta, daya rasa, dan daya karya/karsa untuk memlih bagaimana melaksanakan arti kehidupan yang kelak akan membawa diri manusia sesuai langkahnya (berbuat baik atau sebaliknya memberikan kebaikan atau sebaliknya, menjadi yang terbaik atau sebaliknya) menuju kembali kepada Yang Maha pencipta/Allah SWT.

Didalam perjalanan hidupnya ada utusan (duta) yang membawa surat (pegangan/keyakinan) sebagai pengendali yang sama-sama kuatnya, keduanya berperang (kebaikan melawan kejahatan) dan keduanya meninggal, yang raga menjadi jasad, dan sukma pergi menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pandangan Islam, memahami manusia merupakan salah satu jalan penting untuk mengenal hakekat dan syariat Tuhan, karena hakekat itu sendiri adalah proses pengenalan Tuhan dan alam semesta dengan melihat ke dalam diri manusia (Man Arafa Nafsahu Faqodal Arafa Robbahu) “ Kenalilah dirimu, maka engkau akan mengenal Tuhanmu” 

Itulah selintas gambaran perjalanan hidup manusia, sejak kelahirannya sampai akhir hayatnya dan kembali menghadap kepada Yang Maha Pencipta/Allah SWT dengan membawa bekal kemudian mempertanggung jawabkan hasil kehidupannya. Hal ini juga disampaikan Ibnu Umar berkata, Rasullulah bersabda “ Kalian semua adalah penggembala dan bertanggung jawab atas gembalanya. Pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, Isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah tangga suaminya. Dan pembantu adalah penggembala dan bertanggung jawab atas harta tuannya.” (HR. Al-Bukhari).

sumber: media sastra jawa








Cerita Wayang Kulit Seni Budaya Indonesia

Prabu Kresna dan Senjata Cakra

Lengkapnya Cakra Sudarsana, atau Cakra Baskara adalah senjata andalan Batara Wisnu. Senjata itu juga dimiliki para titisannya, termasuk Prabu Kresna, raja Dwarawati. Sebagai senjata milik dewa, Cakra bukan hanya ampuh, tetapi juga mempunyai bermacam kegunaannya. Kebanyakan makhluk di dunia ini tidak ada yang sanggup mengelak dan menangkal dari serangan senjata Cakra kecuali tokoh tertentu yang berpihak pada kebajikan.

Dalam pewayangan senjata Cakra digambarkan berbentuk roda dengan gigi-gigi yang menyerupai  mata tombak. Pada Wayang Kulit Purwa dan Wayang Orang, senjata Cakra dirupakan sebagai mata panah (nyenyep bhs jawa), sedangkan dalam penggambarannya di beberapa dinding candi serta di komik-komik yang diterbitkan di Jawa Barat, Cakra dilukiskan berbentuk semacam cakram yang tepinya bergerigi.
Sewaktu pecah perang antara Keluarga Pandawa dan Kurawa, Cakra digunakan untuk menghalangi sinar matahari. Prabu Kresna berbuat begitu agar semua orang mengira hari telah senja. Waktu itu, sehari sebelumnya Arjuna bersumpah, “ Jika besok, sebelum matahari terbenam aku tidak dapat membunuh Jayadrata, lebih baik aku mati ”. Sumpah Arjuna itu karena dendamnya atas kematian putera kesayangannya Raden Abimanyu yang terjebak dalam formasi Cakrayudha.

Setelah mendengar sumpahnya itu, Kurawa segera menyembunyikan Jayadrata, dengan harapan, jika Jayadrata berhasil selamat hari itu, tentu Arjuna akan bunuh diri.
Karena senjata Cakra menghalangi matahari, suasana di bumi, saat itu tampak seperti senja hari. Jayadrata yang merasa dirinya aman karena mengiranya batas waktu telah lewat, segera keluar dari persembunyiannya. Ia ingin menonton bagaimana Arjuna bunuh diri melaksanakan sumpahnya. Namun ketika Arjuna melihatnya, ksatria Pandawa itu langsung membunuh Jayadrata dengan anak panahnya. Leher Jayadrata putus tertebas anak panah Arjuna. Sesudah Jayadrata mati, barulah Prabu kresna menarik kembali Cakra dan dunia kembali terang benderang.
Prabu Kresna pernah menggunakan senjata Cakra itu untuk membunuh saudara sepupunya, Sisupala, karena raja Cedi itu telah menghinanya di depan umum. Peristiwa ini terjadi pada saat Prabu Yudhistira mengadakan upacara Sesaji Rajasuya. Selain itu, Cakra juga digunakan Kresna untuk membunuh Bomanarakusuma, anaknya sendiri, karena Boma berani melawan para dewa dengan menyerbu kahyangan, lagi pula Boma juga membunuh Samba, anak kesayangan Prabu Kresna.

Meskipun pada dasarnya Cakra adalah senjata andalan bagi tokoh wayang titisan Bathara Wisnu, tetapi pada zaman Prabu Arjuna Sasrabahu senjata ini merupakan milik Patih Suwanda alias Bambang Sumantri.
Dalam pewayangan gagrak Jawa Timur diceritakan, senjata Cakra Baskara tercipta dalam lakon Wisnusraya. Suatu ketika, Prabu Mangliawan dari Kerajaan Selagringging menyerbu kahyangan, karena pinangannya terhadap Dewi Sri Pujayanti ditolak. Bala tentara dewa kewalahan menghadapinya. Sang Hyang Narada menugasi Bathara Wisnu untuk menghadapi Prabu Mangliawan.
Sebelum berangkat ke medan laga Bathara Wisnu menyuruh istrinya memohon restu pada Bathara Guru.
Namun pemuka dewa itu tidak berkenan karena ia masih sakit hati pada Wisnu dan Dewi Sri, karena mereka kawin, padahal Bathara Guru juga berminat memperistri Dewi Sri. Bathara Guru bahkan membuang ludah dahaknya sehingga menodai kain yang dikenakan Dewi Sri.
Dewi Sri kemudian melaporkan segala kejadian itu pada suaminya. Oleh Wisnu dahak Bathara Guru yang menempel di kain istrinya dipuja menjadi sebuah senjata sakti berbentuk bulat, dengan delapan runcingan di sekeliling sisinya. Senjata itu dinamakan Cakra Baskara atau Riak Kumala.

Menurut versi yang ini, kisah terjadinya senjata Cakra dimulai dari niat Bathara Guru untuk berolah asmara dengan Dewi Sri Widawati. Sang Dewi menolak dan memohon perlindungan Bathara Wisnu. Ketika bathara Wisnu hendak menyadarkan Bathara Guru bahwa perbuatannya tidak pantas, pemuka dewa itu malah marah, lalu melakukan tiwikrama. Keempat tangannya menjadi besar dan panjang hendak mencengkeram Bathara Wisnu.
Karena takut sekaligus marah, Bathara Wisnu melakukan tiwikrama, berubah ujud menjadi Kalamercu. Bathara Guru kewalahan dan menghentikan serangannya, tetapi rasa kesalnya belum reda. Bathara Wisnu diludahi. Kemudian bersama Bathari Sri Widawati dan Bathara Basuki, Bathara Wisnu diusir dari kahyangan. Sebelum meninggalkan kahyangan, Bathara Wisnu memuja ludah Bathara Guru menjadi senjata Cakra. Mulai saat itulah mereka menitis pada manusia yang dipilihnya.
Pertama kali senjata Cakra digunakan oleh batara Wisnu memenggal leher Rembuculung atau Kala Rudra. Sewaktu mendapat laporan dari Bathara Candra bahwa Rembuculung mencuri air kehidupan Tirta Amerta. Bathara Wisnu segera memburunya. Dengan Senjata Cakra, dewa Pemelihara Alam itu memenggal leher Rembuculung hingga putus. Namun, karena raksasa gandarwa itu sempat meneguk Tirta Amerta. Sebelum sempat tertalan, kepala Rembuculung tidak mati, sedangkan badannya menjadi lesung.
Kala Cakra dalam bahasa Sansekerta mengandung arti bulatan atau lingkaran, piringan, roda atau sejenis dengan itu.

Seni Budaya Jawa (wayang) Salah Satu Media Pemersatu dan Hiburan Rakyat

- Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
- Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia.


sumber: media seni budaya wayang Indonesia